Saturday, 11 June 2016

Lokasi Operasi Pasar DKI Jakarta, Tangerang dan Jawa Barat

Kebun Raya Eka Karya Bali

Kebun Raya Eka Karya Bali adalah Kebun Raya terluas di Indonesia (157 hektar).

 

Punthuk Setumbu

Karena memiliki aura mistik, Punthuk Setumbu menjadi salah satu lokasi favorit untuk memotret candi Borobudur.

Pantai Plengkung di Banyuwangi, Jawa Timur

Pantai Plengkung di Banyuwangi, Jawa Timur, dikenal dengan ombak terpanjang nomor 2 dan tertinggi di dunia.

Coelacanth Latimeria

Coelacanth Latimeria adalah ikan purba yang disangka sudah punah 65 juta tahun lalu, ditemukan lagi di Sulawesi.

Niagara mini di Lumajang, Jawa Timur, Indonesia.


Niagara mini di Lumajang, Jawa Timur, Indonesia.

Pantai Lagundri & Sorake di Nias Selatan, Sumatera Utara

Pantai Lagundri & Sorake di Nias Selatan, Sumatera Utara, adalah salah satu dari 10 lokasi surfing terbaik di dunia.




Biaya Retribusi Makam wilayah DKI Jakarta

Jadwal Euro 2016

Lokasi Operasi Pasar 4-17 Juni 2016

Thursday, 2 June 2016

Tan Malaka #6

Sekolah ala Tan Malaka

Mendidik manusia agar tak sekadar pandai tapi juga berjiwa merdeka dan peduli pada nasib rakyat.

 

 

 

 

 

 

Siswa-siswa SI School melepas kepergian Tan Malaka yang diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda pada 1922. 

BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di antara permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana, pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah kampung. Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang kian lama kian renta dimakan usia.
Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat Islam cabang Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat Islam yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota Semarang.
Kurikulum yang progresif
Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs (pendidikan, Red.).
Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.” Demi tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka menyusun kurikulum pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada waktu itu.
Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan kurikulum sekolahnya, pertama yakni memberi senjata cukup buat pencari penghidupan dan dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb); kedua, memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan (vereeniging); ketiga, menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, Red.).
Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah pengajaran bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur bahasa Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi yang mengenyam pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda.
Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan kepada siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya (cerdas, Red.) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, Red.) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.”
Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi anak-anak didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak untuk merasakan kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan orangtua mereka yang harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya.
Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta murid-muridnya untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang supaya bisa menyaksikan dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik.
Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan dan kemauan “hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”


 

Tan Malaka #5

Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka

Sejarawan Belanda ini kepincut menelusuri riwayat hidup Tan Malaka. Separuh lebih umurnya digunakan untuk meneliti pejuang revolusioner Indonesia itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harry A. Poeze dan istrinya, Henny Poeze.
Foto
 

SEBUAH foto kuno suasana Hindia Belanda berukuran besar terpajang di lorong pintu masuk rumah yang terletak di wilayah Castricum, utara Belanda. Begitu masuk ke dalam ruangan tamu, tamu disambut ribuan buku tersusun rapi dalam rak yang berdiri menempel pada tembok.
“Semua buku di sini berbahasa Belanda, tentang sejarah, politik dan sastra. Kalau tentang Indonesia ada di lantai dua,” kata Harry A. Poeze, empunya rumah yang telah ditempatinya sejak periode 1970-an itu.
Harry Poeze identik dengan sosok Tan Malaka. Dialah sejarawan Belanda yang paling menguasai kisah hidup aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia itu. Namun di balik ramainya diskusi Tan Malaka akhir-akhir ini, tak banyak yang mengetahui kisah hidup Harry Poeze.
Perjumpaan Harry dengan Tan Malaka bermula semenjak dia mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Amsterdam. Saat itu Harry mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan ahli Indonesia yang sangat terkenal. Persentuhannya dengan sejarah Indonesia membuatnya tertarik untuk membaca buku Kemunculan Komunisme Indonesia karya Ruth T. McVey.
“Saya tertarik dengan Tan Malaka saat saya mahasiswa ikut mata kuliah Sejarah Indonesia dan saya harus menulis skripsi mengenai sejarah Indonesia. Saya baca sejumlah buku mengenai sejarah perlawanan Indonesia terhadap imperialisme Belanda dan seringkali temukan nama Tan Malaka, tapi disebut riwayat hidupnya penuh teka-teki dan belum diketahui,” ujar Harry yang diterima masuk di Universiteit van Amsterdam pada 1964.
Mulai saat itulah Harry menekuni sosok Tan Malaka untuk skripsi sarjananya dan berhasil diselesaikan pada 1972. Dalam skripsinya itu Harry memokuskan kisah Tan Malaka semasa hidup di Belanda mulai 1913-1919 dan saat Tan Malaka diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada 1922. Skripsinya kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1988 oleh Penerbit Grafiti Pers, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik1897-1925.
Selesai menulis skripsi, Harry tak berhenti mencari tahu siapa Tan Malaka. Dia melanjutkan lagi penelusuran riwayat hidup Tan Malaka untuk disertasi doktornya di universitas yang sama. Selama empat tahun (1972-1976), Harry menelisik ke masa lalu kehidupan Tan Malaka sampai dengan periode kemerdekaan 1945. Pada 1999 penerbit Grafiti Pers menerbitkan buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 yang naskahnya diterjemahkan dari disertasi Harry.
Pencarian tentang siapa Tan Malaka membawanya berkeliling ke banyak negeri, mulai Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina sampai Indonesia. Tan memang seorang aktivis politik dengan rekam jejak internasional. Pekerjaannya sebagai perwakilan Komintern untuk Asia (Organisasi komunisme internasional) mengharuskannya berkeliling ke berbagai negeri, membantu mengorganisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Hasil dari riset selama 40 tahun lebih itu, selain tentu saja buku biografi Tan Malaka sepanjang 3000 halaman yang tahun kemarin baru diluncurkan, adalah bertumpuk dokumen arsip-arsip Tan Malaka. Salah satu koleksi yang diperoleh Harry berasal dari arsip Komintern di Moskow, Rusia. Berkat ketekunannya, Harry berhasil memecahkan beberapa kode rahasia yang kerap digunakan Tan Malaka saat berkorespondensi dengan kawan-kawan seperjuangannya.
Banyak surat-surat pribadi Tan Malaka yang berhasil Harry dapatkan. Beberapa di antaranya adalah surat-surat Tan Malaka ke Komintern dengan menggunakan berbagai macam bahasa. “Tan Malaka pandai berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan banyak lagi bahasa,” kata Harry.
Kunjungan Harry untuk meneliti Tan Malaka ke Indonesia baru dilakukan pada 1980. Dalam kesempatan itu, Harry menemui banyak kawan dan lawan politik Tan Malaka untuk diwawancarai. Sampai hari ini hubungan Harry dengan keluarga besar Tan Malaka terjalin dengan sangat baik.
Selain dikenal sebagai sejarawan, tak banyak orang tahu kalau Harry pernah berkarier sebagai politikus. Setahun sebelum Harry merampungkan kuliah sarjananya, dia terpilih sebagai anggota dewan kota Castricum dari Partai Buruh (Partij voor de Arbeid, PVDA). Selama 11 tahun (1971–1982) pria kelahiran Loppersum, 20 Oktober 1947 itu mengabdikan dirinya sebagai politikus di dewan kota Castricum, termasuk sebagai wethouder atau asisten walikota Castrium.
“Saya memang anggota Partij van de Arbeid sejak 1965. Ideologi saya sosial-demokrat, cocok dengan pendapat politik saya, sosialisme dengan demokrasi. Saya selalu menentang fanatisme dan ideologi yang absolut,” ujar ayah dua anak itu.
Kekaguman dan keseriusannya menekuni riwayat hidup Tan Malaka mendorong Harry untuk memecahkan misteri kematian tokoh berjuluk bapak republik itu. Jerih payahnya berbuah manis. Pada 2007, dia berhasil menemukan lokasi yang diperkirakan jadi kuburan Tan Malaka.
Harry pun sukses mengungkap kisah hari-hari terakhir Tan Malaka sebelum dia dieksekusi mati. Sejumlah nama pelaku eksekusi dan pemberi perintah pembunuhan sudah dikantonginya. Salah satunya adalah Brigjen. Soekotjo, yang pernah menjabat sebagai walikota Surabaya di era Orde Baru.
Didorong rasa ingin tahu yang tinggi, Harry pun bergerak menemui berbagai pihak agar jenazah Tan Malaka yang dikubur di Selopanggung, Kediri itu digali untuk dites DNA. Sejak 2009 upaya untuk mengindentifikasi DNA Tan Malaka telah dilakukan oleh tim dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasilnya memang tak sempurna karena kondisi jasad yang sudah terlalu rusak. Namun berbagai petunjuk yang memperkuat dugaan bahwa pria yang terkubur di sana adalah jasad Tan Malaka cukup jelas, semisal posisi tangan yang terikat ke belakang dan berbagai kesaksian yang berhasil Harry peroleh.
Harry berharap pemerintah Indonesia bersedia untuk memakamkan kembali jasad Tan Malaka secara layak di makam pahlawan. “Saya masih menunggu (keputusan) pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata, sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” pungkas Harry menyimpan harap.


 

Tan Malaka #4

Dukung Demokrasi Terpimpin Sukarno, Tan Malaka Jadi Pahlawan Nasional

Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional berkat dukungan partainya kepada Demokrasi Terpimpin.

 

 

 

 

 

 

 

Tan Malaka dan lambang Partai Murba. 

PRESIDEN Sukarno mengangkat dua tokoh kiri yang kontroversial tapi berseberangan ideologi, Tan Malaka dan Alimin, sebagai pahlawan nasional. Kebijakan ini dianggap memenuhi penyatuan ideologi Nasakom sekalipun Sukarno melabrak prosedur. (Baca: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Dua Tokoh Komunis)
Pada 28 Maret 1963, Sukarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 53/1963. Pengangkatan ini sesuai dengan tuntutan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), yang didirikan Tan Malaka, dalam dua kesempatan: peringatan hilangnya Tan Malaka ke-14 di Jakarta pada Februari 1963 dan konferensi Partai Murba di Balikpapan pada 15 Maret 1963.
Menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, Sukarno melakukan pengangkatan itu atas inisiatif sendiri, tanpa melewati prosedur atau meminta nasihat dari komisi yang telah dibentuk. “Langkah Sukarno dianggap sebagai penghargaan atas dukungan Partai Murba terhadap politik Demokrasi Terpimpin Sukarno,” kata Poeze, yang menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. (Baca: Harry Poeze Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka)
Agar adil, lanjut Poeze, Sukarno melakukan hal yang sama terhadap Alimin, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kendati disingkirkan dalam perselisihan internal PKI, Alimin tidak dipecat dari PKI dan masih dianggap sebagai tokoh komunis yang berjasa. Dia juga kawan Sukarno dari dulu. Alimin ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keppres No 163/1964.
“Jelas, ada oposisi terhadap putusan pengangkatan dua tokoh kontroversial itu, dan mungkin karena itu Sukarno melanggar prosedur. Kritik terhadap Sukarno waktu itu sulit, dan mustahil disampaikan langsung dan di depan umum,” kata Poeze.
Tan Malaka dipecat dari PKI karena menentang pemberontakan PKI 1926/1927. Dia kemudian mendirikan Pari (Partai Republik Indonesia) di Bangkok pada Juni 1927. Setelah kembali ke Indonesia, dia mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, pasca-Peristiwa Madiun 1948. (Baca: Akhir Tragis Republik Komunis)
Dalam banyak hal, Murba berlawanan dengan PKI. Karena itu pengangkatan Tan Malaka dan Alimin dianggap memenuhi penyatuan ideologi Nasakom yang diusung Sukarno.
Selain itu, saat itu pengaruh Sukarno begitu besarnya, termasuk dalam soal pengangkatan pahlawan nasional. Dia mengangkat pahlawan nasional pertama, yaitu Abdoel Moeis, pada Agustus 1959. Hingga September 1965, dia mengangkat 36 pahlawan nasional, hampir separuhnya tanpa meminta nasihat dari komisi yang telah dibentuk. “Tan Malaka adalah orang ke-16 yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” kata Poeze. (Baca: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia)
Prijono, tokoh Partai Murba dan menteri pendidikan (1957-1966), menyambut pengangkatan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dengan gembira. Dia menganggap keputusan Sukarno tepat.
Dalam pesannya pada Hari Angkatan Perang 5 Juli 1963, Prijono menyatakan: “Setiap putera-puteri Indonesia boleh merasa bangga, bahwa Ibu Pertiwi mempunyai pemimpin besar seperti Tan Malaka. Ia seorang pahlawan nasional yang di sepanjang hidupnya berjuang untuk kemerdekaan tanah air, dan yang sejak awal berjuang sungguh-sungguh menuju dan demi lahirnya cita-cita Republik Indonesia.”
Sejarah mencatat akhir perjalanan kedua partai itu berbeda. PKI berhasil mempengaruhi Sukarno untuk membekukan Murba pada September 1965 atas tuduhan terlibat dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS), mendukung Manifesto Kebudayaan, dan menerima uang US$100 juta dari Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk menggulingkan Sukarno. Sukarno kemudian merehabilitiasi Murba pada 17 Oktober 1966. Sementara PKI dianggap sebagai partai terlarang oleh pemerintahan Soeharto.
Murba ikut pemilu pada 1971 namun tak meraih kursi. Pada 1977 Murba bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik lebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Murba dihidupkan lagi pada 1998 dan ikut pemilu 1999, namun kembali gagal meraih kursi.


 

TAN MALAKA #3

Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden

Tan Malaka ingin jadi presiden. Kalah populer dibandingkan Sukarno.

 

 

 

 

 

 

 

Tan Malaka. 

SETELAH terpilih menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Sutan Sjahrir bersama lima belas orang yang sebagian besar pengikutnya bertemu Tan Malaka di Serang, Banten, pada 23 Oktober 1945. Seminggu sebelumnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan Maklumat X tentang pembentukan partai-partai politik.
Dalam pertemuan itu, Sjahrir meminta kesediaan Tan Malaka menjadi ketua partai sosialis yang akan didirikan dalam waktu dekat. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka yang legendaris akan memberikan keuntungan kepada partai sosialis. Tan Malaka menolak.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan seorang revolusioner. Dia juga tak mau menjadi kawan separtai dari kaum sosialis, yang sebagian besar masih berkompromi dengan kapitalisme dan imperialisme. Tan Malaka mengatakan, “Saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial demokrat.”
Selain itu, “Tan Malaka tidak suka jabatan resmi dengan tugas-tugas untuk ke kongres, bertemu orang, dan lain-lain. Ini mungkin karena kepribadiannya dan juga karena Tan Malaka ingin memberi gambaran bahwa dia di atas partai-partai. Dan ini cocok dengan ambisinya menjadi presiden,” ujar Poeze kepada Historia.
Menurut penuturan Djohan Sjahroezah, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin pamannya Sjahrir, Tan Malaka mendesak Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah selama pendudukan Jepang, “supaya menentukan sikap siapa-siapa sebaiknya yang memimpin revolusi nasional, menjadi presiden dan perdana menteri,” tulis Djoeir Moehamad, anggota dewan pimpinan PSI, dalam Memoar Seorang Sosialis.
Tan Malaka mengusulkan agar dirinya menjadi presiden dan Sjahrir menjadi perdana menteri sekaligus menteri pertahanan, ekonomi, dalam dan luar negeri. Sjahrir tidak langsung menolak. Dia malah bercerita pernah berkeliling Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan berkesimpulan hanya Sukarno-lah pemimpin yang dikenal rakyat.
Sjahrir juga mengemukakan bahwa Tan Malaka kurang mengetahui perkembangan terakhir seraya menganjurkan agar berkeliling Jawa untuk mengetahui sejauh mana popularitasnya di mata rakyat.
“Kalau saja Anda populer 10% dari Sukarno kami akan mempertimbangkan Anda sebagai presiden,” kata Sjahrir, dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Sjahrir mengingatkan Tan Malaka, “Kita ini orang Sumatera, tak begitu dikenal oleh masyarakat Jawa. Karena itu sebaiknya kita sokong Sukarno saja sebagai presiden dan Hatta wakilnya.”
“Tidak mungkin,” kata Tan Malaka, “Apalagi Sukarno akan diadili Sekutu yang akan menduduki Indonesia, sebab dia boneka fasisme Jepang. Dan pasti nanti kemerdekaan kita dinilai bikinan fasis Jepang.”
Kendati menentang kolaborasi Sukarno-Hatta dengan Jepang, Sjahrir memutuskan memimpin pemerintahan sebagai perdana menteri selama tiga periode. Dia kemudian memilih berdiplomasi dengan Sekutu dan Belanda. Sedangkan Tan Malaka beroposisi kepada pemerintahan Sjahrir. Dugaan Tan Malaka bahwa Sukarno-Hatta akan diadili Sekutu tak terjadi. Bahkan Sukarno menjadi presiden selama 22 tahun (1945-1967).



 

Kisah Asmara Tan Malaka #2

Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi

  





Tan Malaka ketika berada di kantor Polisi Manila, Filipina, Agustus 1929.
Foto

SALAH satu tokoh sejarah di Indonesia yang memutuskan untuk tidak menikah adalah Tan Malaka. Kenapa dia memilih untuk hidup melajang dan tak membangun keluarga sebagaimana banyak pemimpin republik lainnya?
Ada sebuah kisah yang berkembang tentang kenapa lelaki bernama Ibrahim itu memilih untuk tak menikah. Ketika masa remaja, Ibrahim jatuh cinta pada Syarifah Nawawi, gadis cantik kawan satu kelas semasa sekolah di Kweekschool, Bukittinggi. Namun cintanya kandas saat Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan: menolak dinobatkan sebagai datuk atau menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Ibrahim pilih yang pertama.
Tak lama setelah penobatan, Ibrahim yang telah bergelar Datuk Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda. Berpisah dengan Syarifah Nawawi, pujaan hatinya. Lama tak berhubungan dengan Tan Malaka karena jarak, Syarifah dilamar oleh Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah yang telah beristri dua. Perkawinan mereka berakhir pada perceraian. Wiranatakusumah kawin lagi, lantas menceraikan Syarifah.
Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi koran Merdeka dan editor penerbit Hasta Mitra pernah mengisahkan sebuah anekdot tentang kandasnya hubungan cinta Tan Malaka itu. Kata Joesoef dalam sebuah wawancara pada 2008 lampau, kegagalan percintaannya itu jadi alasan kenapa Tan memilih untuk jadi komunis.
“Tan Malaka mendengar Syarifah dikawin Wiranatakusumah, lantas diceraikan begitu saja. Tan jadi dendam pada kaum feodal dan kemudian jadi komunis. Ini cerita yang beredar di kalangan masyarakat Bukittinggi,” ujar Joesoef Isak.
Sejak gagal menikahi Syarifah, Tan memang hidup sendiri. Ada beberapa perempuan yang pernah singgah di hatinya namun tak pernah berakhir di pelaminan. Ketika di Belanda, Tan sempat berpacaran dengan seorang gadis Belanda, Fenny Struijvenberg. Menurut penulis biografi Tan Malaka sejarawan Harry Poeze, Fenny sempat dekat dengan Tan Malaka namun tak pernah jelas seperti apa hubungan mereka.
Tan sendiri tak pernah menceritakan kisah kasihnya dengan noni Belanda itu di dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara. Dia memang mengisahkan sempat menjalin hubungan dengan beberapa perempuan di negara di mana dia tinggal. Semasa tinggal di Manila, Filipina pada 1927, di bawah nama samaran Elias Fuentes, Tan sempat jatuh cinta pada seorang perempuan. Kabarnya perempuan itu anak seorang petinggi universitas di sana.
Hubungan mereka terputus karena Tan ditangkap intelijen Amerika, diadili di Pengadilan Manila dan divonis deportasi keluar dari Filipina. Tan kembali ke Tiongkok, menuju Shanghai di mana dia tinggal di sebuah desa kecil selama kurang lebih tiga tahun, sampai 1932, dalam keadaan sakit dan tak punya uang. Kabarnya seorang perempuan Tiongkok merawatnya ketika itu. Tak disebutkan bagaimana hubungan mereka.
Dalam keadaan sulit, Tan mengontak Alimin yang saat itu berada di Shanghai sebagai perwakilan Komintern di Asia. Kepada Alimin Tan menyatakan siap mendapat tugas dari Komintern. Alimin menugaskan Tan untuk pergi ke Burma (Myanmar). Namun ketika tiba di Hongkong dalam perjalanan menuju Burma, Tan ditangkap agen rahasia Inggris dan ditahan selama dua bulan. Keluar dari penahanan, Tan menuju Amoy (Xiamen).
Tan yang menggunakan nama samaran Ong Soong Lee itu menurut Harry Poeze mendapatkan perlindungan di Tiongkok Selatan. “Ia tiba di Amoy, dan di sana berhasil mendirikan Foreign Languages School (Sekolah Bahasa-Bahasa Asing),” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.
Saat menetap di Xiamen itulah Tan bertemu seorang gadis Amoy berusia 17 tahun berinisial “AP”. Gadis tersebut kerap menyambangi Tan Malaka untuk belajar bahasa Inggris. Tan juga jadi tempat curahan hati gadis yang tak pernah disebutkan nama lengkapnya di dalam memoar Tan Malaka.
Tan keluar dari Amoy pada 1937, meninggalkan kisahnya dengan gadis Amoy berinisial “AP” tadi. Dia menuju Malaya, kemudian menetap di Singapura. Di wilayah jajahan Inggris itu Tan menggunakan nama Hasan Gozali dan bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah. Tak jelas apakah dia kembali menjalin hubungan cinta di sana.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Tan melihat ada kesempatan untuk pulang. Setelah menyusuri beberapa kota di Sumatera, akhirnya Tan tiba di Jakarta di mana dia hidup secara rahasia selama Jepang berkuasa. Baru pada 1945, Tan menampakkan diri terang-terangan. Mengunjungi beberapa kawan lamanya, salah satunya Ahmad Soebardjo.
Di rumah Soebardjolah Tan terpikat pada Paramita Abdurrachman, keponakan Soebardjo. Jalinan asmara mereka cukup serius sehingga banyak orang mengira mereka telah bertunangan. Namun kegiatan politik Tan Malaka jauh lebih menyita perhatiannya ketimbang berpacaran.
Paramita jadi perempuan terakhir yang mengisi kisah hidup Tan Malaka sebelum akhirnya lelaki yang didapuk sebagai “bapak republik” itu tewas di ujung senapan tentara Indonesia pada 21 Februari 1949. Akhir tragis Tan Malaka menggenapi kisahnya sebagai “jomblo revolusioner” dalam sejarah di Indonesia.


TAN MALAKA

Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Dua Tokoh Komunis

Sukarno mengangkat Tan Malaka dan Alimin sebagai pahlawan nasional untuk memenuhi penyatuan ideologi nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).

 

 

 

 

 

Tan Malaka, 1922.
Foto

PADA 23 Maret 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Usulannya datang dari Partai Murba yang didirikan Tan Malaka tahun 1948, dalam peringatan ke-16 menghilangnya Tan Malaka pada Februari 1963.
Menurut sejarawan Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional,” dokumen resmi telah dikeluarkan satu bulan setelah permohonan itu dan langsung mendapat dukungan dari Sukarno, yang menggambarkan betapa cepatnya dia menanggapi permintaan itu dan mengabaikan prosedur-prosedur formal.
Setahun kemudian, Sukarno kembali mengangkat tokoh komunis, Alimin Prawirodirdjo menjadi pahlawan nasional, sehari setelah kematiannya pada 24 Juni 1964.
“Mereka adalah komunis di antara para pahlawan nasional, yang menjadi alasan mengapa mereka dibungkam sesudah tahun 1965,” tulis Schreiner termuat dalam Outward Appearances.
Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis di antara 33 pahlawan nasional yang ditetapkannya, berdasarkan kepentingan strategis jangka pendek. Yaitu sebagai wakil dari ideologi yang sedang disatukannya: Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). (Baca: Nasakom: Sukarno Pemersatu atau Pembelah?)
Oleh karena itu, lanjut Schreiner, “mengikuti pengangkatan Alimin pada tahun 1964, dua tokoh utama Muhammadiyah, Kiai Fachruddin dan Kiai Mas Mansyur, secara serentak diangkat sebagai pahlawan nasional sehingga menjamin keseimbangan ideologis antara komunis dan Muslim.”
Pengangkatan Tan Malaka dan Alimin dapat dianggap sebagai “suatu simbol nonkontroversial dari gerakan komunis.” Tan Malaka keluar dari PKI karena tak setuju pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali.
“Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927,” tulis Asvi dalam pengantar buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura karya Zulhasril Nasir.
Sebaliknya, menurut Schreiner, kendati setuju dengan pemberontakan itu, Alimin kemudian kehilangan sebagian besar kedudukannya dalam PKI. Meskipun Harian Rakyat, organ PKI, dalam berita kematian Alimin memuji jasa-jasanya dalam mendirikan PKI pasca Perang Dunia II dan perannya selama tahun 1950-an, di akhir hayatnya dia adalah tokoh yang terpinggirkan.
Rezim Orde Baru yang antikomunis jelas terganggu dengan keberadaan dua pentolan komunis dalam daftar pahlawan nasional. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 4, Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi pahlawan nasional, pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka dan Alimin. Soeharto menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dan tidak bisa dibatalkan.
Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, tetapi menurut Asvi, nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Dalam buku teks sejarah dia tidak boleh disebut. Atau menurut istilah seorang peneliti Departemen Sosial, Tan Malaka menjadi off the record dalam sejarah Orde Baru. Baru setelah reformasi namanya ditampilkan kembali. Muncullah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan Malaka yang pada masa Orde Baru sempat dilarang.


 

Wednesday, 1 June 2016

Fakta Google #7

Milky Way di pulau Kenawa, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.

Fakta Google #6

Di atas awan Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.

Fakta Google #5

Teluk Jantang Lhoong di Aceh, Indonesia.

Fakta Google #4

Semakin cepat gambar ini bergerak, berarti semakin stres.

Fakta Google #3

Arti kata 'MEMEK' menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah 'Merengek-rengek' atau 'Merepek'.

Fakta Google #2

Gelengkan kepala Anda! dan apa yang Anda lihat di gambar ini?

Fakta Google

Tulisan Eagle Hair Club di film Despicable Me, Font-nya adalah karya Adien Gunarta, mahasiswa Komunikasi UNAIR.

A taste of the best rendang in Jakarta

 A taste of the best rendang in Jakarta
Intan Tanjung The Jakarta Post

 Jakarta | Wed, June 1 2016 | 11:56 am
 
  A portion of rendang at Simay restaurant.(Kompas/Sri Anindiati Nursari)

Rendang has stolen the world’s attention after CNN announced it as the "World’s Most Delicious Food". In Indonesia, the dish is very popular all across the country and can be found at any Padang restaurant. The dish, which originated in Padang, a city in West Sumatra, is known for its deep and succulent flavor of beef simmered in thick coconut milk and rich spices.
 
In Jakarta, the nomination for the restaurant with the best rendang may go to Warung Simay, which has won several cooking competitions, as reported by Kompas Travel.

Warung Simay, headquartered in Tanah Abang and operating two branches in West Palmerah and North Palmerah, received its first award in December 25, 2011, when the restaurant joined the Minang Food Festival held by UPTD Anjungan Sumbar TMII.

“There were 100 people in the competition, including Sederhana and Simpang Jaya ( two famous Padang restaurants in Jakarta ). Thankfully, we came out as the first winner,”  Meyyulis, owner of Simay restaurant, told Kompas. At that time, May presented three dishes, namely rendang, beef jerky and sampadeh ( spicy-sour ) fish.

One year later, she won the title ‘The Best in Migrant Category’ representing Jakarta in Rendang Padang Festival, that was held at Sumbar Cultural Park in Padang, West Sumatra.

Meyyulis' rendang has a bolder, spicier flavor and deeper reddish color. For the beef, she prefers the cow’s upper thigh, known as coconut beef, which has become her signature. 

“It is the hardest part to be processed. If using that part for rendang, the beef can be torn apart, but mine can't. That is the difference,” said May. 

Another standout food of hers is her beef jerky. May said her jerky is not tough, but crispy like crackers.

“I fry it twice, using special coconut oil,” she said. 

She explained that the secret to her cooking lay in the spices. All her food is cooked using only spices produced from one kitchen. 

“Nowadays there are a lot of Padang restaurants that use instant seasoning. I use an original recipe passed down to me,” May said. 

May started her business in the early 1980s selling ketupat Padang ( Padang rice cakes ) in Tanah Abang. In 1982 she decided to open a Padang restaurant, cooking rendang using her mother’s secret recipe.  

“My father is originally from Batusangkar, and my mother is from Pariaman. The dishes served in the restaurant are the result of the acculturation from the two places,” May said. 

Aside from rendang, there is also gajebo curry, goat curry and fish sampade.
During Ramadan, Simay will open daily for iftar before dusk until there's no more food to be sold. “We'll close when the food is finished,” May said. ( asw )

Museum Batak Balige

Belajar Cinta Sejarah ke Museum Batak Balige

Butartrip - d'Traveler - Rabu, 01/06/2016 11:25:00 WIB
detikTravel Community -  
Traveler wajib rasanya mampir ke Museum Batak di Balige. Di sini traveler bisa belajar untuk lebih cinta terhadap sejarah, seni, dan budaya Suku Batak.

Berkunjung ke Danau Toba dan kawasan Toba memang mengasyikkan. Selain menikmati panorama danau Toba yang terkenal dengan keindahannya, mempelajari budaya dari masyarakat Batak juga salah satu hal yang tidak bisa dilewatkan begitu saja, dengan berkunjung ke Museum Batak.

Museum Batak adalah sebuah lokasi dimana kita bisa menemukan berbagai replika artifak dan kebudayaan dari peradaban Batak di tanah Toba. Kemarin, seorang teman dari Filipina datang berkunjung ke tempat saya, untuk mengeksplorasi Danau Toba dan kawasan disekitarnya. Setelah asik bermain air di Danau Toba kemarin, hari ini saya membawanya untuk memperkenalkan budaya Batak melalui Museum Batak.

Museum Batak Berlokasi di Desa Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Tobasa, Provinsi Sumatera Utara. Museum Batak dibangun oleh Bapak TB. Silalahi, mantan menteri di era orde baru.

Museum Batak menjadi salah satu destinasi yang menyenangkan bagi setiap orang yang ingin mempelajari kebudayaan Batak dari awal peradabannya hingga saat ini. Keindahan yang ditawarkan bukan hanya berbagai artifak yang mengagumkan, namun dari Museum ini terlihat pemandangan Danau Toba yang memanjakan mata.

Secara umum, bagian museum terbagi atas dua bagian. Pertama, di dalam ruangan yang berisikan berbagai artifak dan peralatan orang Batak, mulai dari tataring (peralatan memasak), ulos (selendang/pakaian adat) hingga berbagai peralatan lainnya seperti tukkot (tongkat sakral), dan berbagai aksesoris yang bisa digunakan. Di luar ruangan terdapat beberapa replika rumah Batak yang didalamnya juga terdapat berbagai peralatan seperti alat tenun dan patung miniatur.

Di luar juga terdapat berbagai patung lainnya seperti kerbau dan papan catur yang merepresentasikan batak. Ditambah dengan angina sepoi-sepoi dan pemandangan langsung ke Danau Toba, menambah kenyamanan Museum ini.

Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk melihat berbagai macam hasil kebudayaan peradaban Batak. Secara eksplisit, teman saya mengatakan begitu puas dengan keindahan alam  Danau Toba dan berbagai hasil kebudayaan Batak yang kami lihat di Museum Batak.

Slank - ngeSlank Rame Rame (Official Music Video)


Wednesday, 25 May 2016

KISAH KRIMINALISASI JIS



"Kisah Dibalik Kriminalisasi JIS" Part.1 (Pedofil, Gay) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Dibalik Kisah Krmnalisasi JIS" Prt.2 (Motif Pelaku Pedofil)by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Dibalik Kisah Kriminalisasi JIS" Part 3( Hasil Visum) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Dibalik Kisah Krmnalisasi JIS"Part 4 (Skenario Sodomi)by,@kurawa #Sinetwit #JIS

"Dibalik Kisah Kriminalisasi JIS"Part.5 ( Proses Introgasi) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Dibalik Kriminalisasi JIS"Part.6 ( Kehidupan Cleaners-Zaenal)by @kurawa #Sinetwit #JIS 


"Kisah Krimnalisasi JIS"Part.7(Cleaners Virgiawan dan Kartu Pos) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"Part.8 (Cleaners Afrisca dan True Love ) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"PART.9 (Strategi Menuntut US$.125 Jt) by,@kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS" Part.10 ( Skenario Rekonstruksi BAP) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS" Part.11(Cleaners Alm Azwar dan Keluarga) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"Part.12 (Cleaners Syahrial dan Tangisan Anak) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS" Part.13 (Cleaners Agun dan Keluarga) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"Part.14(Skenario Tuduhan ke 2 Guru JIS) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"Part.15.( Bukti Rekayasa Hasil Visum)by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"Part.16 ( Keterangan Psikolog u 2 Guru) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Kisah Kriminalisasi JIS"Part.17(Cara Investigasi dan Rek.Cleaners) by @kurawa #Sinetwit #JIS

"Dibalik Kisah Kriminalisasi JIS" Part.18 - End (Justice For Innocent) by @kurawa #Sinetwit #JIS #just4innocent

EDISI PALING LENGKAP KASUS KRIMINALISASI JIS #JUSTICE4INNOCENT By @kurawa




Kapolri larang penggunaan atribut TURN BACK CRIME I @inilahdotcom

  • Kapolri Larang Penggunaan Atribut Turn Back Crime
    INILAHCOM, Bandarlampung - Kapolri Jendral Badrodin Haiti mengeluarkan surat larangan terhadap masyarakat atau sipil menggunakan atribut berkenaan dengan 'Turn Back Crime'.
    "Ya, memang sudah masuk di kita surat larangan penggunaan atribut khusus polisi atau interpol tersebut digunakan oleh masyarakat umum (sipil)," kata Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih, di Bandarlampung, Senin (23/5/2016).
    Menurut dia, bagi masyarakat yang melanggar akan ada sanksi pidana kurungan penjara selama tiga bulan.
    "Kapolri melarang pengenaan pakaian 'Turn Back Crime' itu bagi warga sipil karena pakaian tersebut sering disalahgunakan untuk memperlancar tindak kejahatan," katanya.
    Jenis baju yang dilarang itu, ia melanjutkan, pakaian berwarna biru dongker bertuliskan 'Trun Back Crime' disertai tulisan polisi atau atribut Polri.
    "Baju jenis itu dikhususkan hanya kepada petugas interpol dan anggota Polri, jadi tidak diperkenankan masyarakat umum ikut menggunakan atribut tersebut," kata dia.
    Apalagi, ia menyebutkan, kemarin ada laporan bahwa petugas menangkap tersangka pencuri motor yang sengaja menggunakan atribut serupa untuk mempermudah atau memperlancar aksi kejahatan mereka.
    "Polresta Bandarlampung maupun jajaran lainnya juga sudah beberapa kali mengungkap kasus kejahatan dengan disertai atribut tersebut, sehingga guna meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan, Kapolri mengeluarkan putusan tersebut," katanya.
    Sebelumnya, anggota Brimob gadungan terlibat dalam kasus pencurian dengan pemberatan spesialis mengincar sasaran sepeda motor, dengan modus operandi berkeliling mencari target anak di bawah umur yang tengah mengendarai sepeda motor.
    Tersangka mencuri sepeda motor dengan mengaku sebagai anggota Brimob, dengan berbekal baju kaos bertuliskan "Turn Back Crime".
    "Dengan bermodalkan kaos itu, tersangka berkeliling mencari target anak-anak di bawah umur yang berkendaraan sepeda motor, setelah mendapatkan target, pelaku langsung menanyakan kelengkapan surat kendaraan dan jika tidak ada lalu mengambil sepeda motor tersebut," kata dia lagi.
    Menurut Kompol Dery Agung Wijaya, dalam laporan yang diterima oleh Polresta Bandarlampung sudah tiga kali hal yang sama terjadi.[tar]

Tuesday, 24 May 2016

Freedom


Tugu Sejarah Ompu Raja Sipakko Napitupulu



Tugu Sipakko Bukti Sejarah Nenek Moyang Keturunan Ompu Raja Sipakko

Di huta (kampung) Parparean, tepat di pinggir jalan Raya Sisingamangaraja, Kecamatan Porsea, Kabupaten Tobasa, menjulang sebuah tugu dengan tinggi 15 meter dari permukaan tanah. Tugu yang diresmikan pada bulan Mei tahun 1973 ini, adalah makam Ompu Raja Sipakko Napitupulu anak Sokkal Barita (Sibegu Laos), anak dari Salim Babiat, anak dari Raja Napitupulu, anak Sonak Malela.

Di puncak bangunan tugu terdapat tombak runcing, menggambarkan Raja Sipakko seorang pemburu handal di zamannya. Di bawah tombak sisi kanan dan kiri, terdapat dua buah pohon beringin, artinya simbol dua adik Raja Sipakko, bernama Raja Sieang dan Mulia Raja Napitupulu.

Sebuah tiang besar berwarna coklat tua menjadi alas tombak memiliki makna, raja ini orang yang memiliki prinsip dan keyakinan yang kuat terhadap Ompu Mula Jadi Nabolon. Di bawah tiang besar itu, melingkar tujuh galapang (undakan) berarti di tugu itu dimakamkan pula ketujuh anak Raja Sipakko.

Singkat cerita ketujuh anak Raja Sipakko, anak pertamanya bernama Raja Marpaho ditinggalkannya bersama Ompungnya si Begu Laos di Magodang Sigurgur. Kemudian Raja Sipakko mengembara ke Sipallat, Porsea. Di sinilah anaknya yang ke dua dilahirkan namanya Gindaraja.

Raja Sipakko pun melanjutkan pengembaraannya ke daerah pinggir Danau Toba. Disinilah, dia dikaruniai anaknya yang ketiga, Raja Pun Tumondol. Kemudian dia pun melanjutkan pengembaraannya ke Sigumpar, tempat anak keempatnya dilahirkan, namanya Partahi Sumurung.

Pria yang lahir di Lumban Sialaman kampung Siburian ini masih terus melanjutkan perantauannya ke arah Jonggi Ni Huta Kecamatan Silaen, sekarang. Di daerah inilah, Panalibung dan Pun Jumorong, anaknya yang kelima dan keenam dilahirkan. Dan Raja ini pun kembali ke Sigumpar, anaknya yang bungsu pun dilahirkan, diberinya nama Songalla.

Selain ketujuh anak, Raja Sipakko juga memiliki dua boru. Disimbolkan pada tugu itu, gambaran dua periuk disamping ketujuh galapang. Kedua boru Sipakko masing-masing, Boru Siburian Lumban Barat dan Boru Nai Munthe Raja Guk Guk. Dibawah tujuh galapang dan dua periuk, terdapat lima rumah adat Batak tampak depan, artinya lima istri Raja Sipakko yang menopang ke tujuh anak dan dua borunya.

Namanya masing-masing, Boru Siburian (Lumban Sialaman), Boru Sirait (Namorajogi) Sian Lumban Sirait, Boru Sirait (Parik Parhondor parik Sigaol Janjimatogu), Boru Hutagaol (Pargaolan Sigumpar), dan Boru Sianipar (Lumban Balik Parsoburan).

Sisi unik Raja Sipakko dengan istri lima. Dia mampu membangun kerukunan antar anak satu sama lain. Anak-anak Raja ini, tidak lah membedakan mana yang menjadi ibu kandungnya mana yang bukan ibu kandungnya. Karena anak kandung dari istrinya yang mana pun, jika ke rumah istrinya yang lain, tetap disambut sama seperti menyambut anak kandungnya sendiri.

Di masa hidupnya, sifat penolong Raja Sipakko sangat terkenal. Raja yang bijaksana ini, tidak senang melihat perbudakan dan penindasan dari kaum yang kuat. Karena itu, ia sering melepaskan perbudakan, tercatat hingga kini, sebuah umpama “Si raja indal-indal, Siraja indas pati. Molo Mangolus Raja sipakko, malua natarhurung harhar namartali” singkat artinya, jika raja sipakko datang, maka terlepas yang terkurung dan terikat..

Raja Sipakko juga disegani karena kesaktiannya. Dia pernah menggunakan kesaktiannya itu, dalam sebuah persaingan dengan marga Marpaung Juangga Nabolon (Simorong-morong) dan marga Siagian dari Huta Gurgur untuk memperebutkan hati Boru Sirait Parhondor dari Parik Sigaol. Dengan kemampuan yang dimilikinya, dibuatnyalah Boru Sirait itu sakit. Kedua saingannya itu tidak mampu menyembuhkannya. Sipakko pun muncul sebagai pemenang dan mempersunting boru Sirait dari Janji Matogu itu.

Selain itu, cerita legenda kesaktian Raja Sipakko masih sering didengar di Sipallat, Porsea. Kisahnya, adalah sebuah sumur dekat sebuah pohon beringin tua. Sumur itu dijaga ular besar sepanjang 15 meter milik Raja Sipakko. Konon jika akan terjadi sebuah bencana, ular itu memperlihatkan dirinya kepada masyarakat sekitar. Nama Sipakko yang disandangnya itu merupakan perwujudan harapan dari bapaknya, Raja Songkall Barita (Begu Laos) yang juga amat sakti. Harapannya, agar anaknya itu menjadi pemimpin yang tangguh, kuat, banyak keturunan, bijaksana dan memiliki banyak harta.

Ketika Sipakko masih tujuh bulan dalam kandungan, Si Begu Laos meminta petunjuk Sang Khalik untuk nama bakal anaknya itu. Dari wangsit yang di terimanya, diberilah nama anaknya itu, Sipakko, artinya aras pohon enau yang sudah tua. Kayu enau, karena kayu itu dulu menjadi patok sawah. Selain itu, kayu itu tidak rentan dimakan zaman dan kuat. Kayu itu juga sebagai tonggak rumah adat Batak, yang menahan kerukunan rumah tangga dan kekerabatan sesama keturunan.

Nama itu pun sesuai gambaran kisah nyata Raja Sipakko yang memiliki kekayaan (memiliki lahan pertanian, pasar dan hidup sebagai nelayan pula), kesaktian, keturunan besar, kerabatan dalam pergaulan, kerukunan, dan penolong antar sesama. Di tugu itu, tercatat Raja Sipakko I (pertama), bahwa pernah ada dari keturunan Raja Pun Tumondol dinobatkan oleh ke tujuh keturunan Sipakko sebagai Raja Sipakko ke II yang disandang oleh Bachtiar Napitupulu. Dia dimakamkan disamping tugu Raja Sipakko Pertama.

Sedikit kisah Bachtiar Napitupulu (Raja Sipakko II) adalah seorang tokoh masyarakat, budaya dan Raja adat. Sipakko II inilah yang pernah memberi ulos kepada Presiden RI II, Soeharto saat berkunjung ke Sumatera Utara. Sekarang ini, keturunan Ompu Raja Sipakko Napitupulu sudah mencapai 18 sundut (generasi ke 18) dengan populasi kurang lebih 10.000 Kartu Keluarga tersebar di seluruh Indonesia, juga ke manca negara.

Bahkan tercatat dari keturunan Raja Marpaho, lewat misi zending Belanda pergi ke Pulau Mentawai. Inilah sebabnya, di pulau timur Indonesia itu kini, terdapat perkampungan Napitupulu. 

-See more at: http://napitupulu-sipakko.blogspot.co.id/2010/11/tugu-sejarah-ompu-raja-sipakko.html#sthash.qhdNOZs2.dpuf