Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden
Tan Malaka ingin jadi presiden. Kalah populer dibandingkan Sukarno.
Tan Malaka.
SETELAH terpilih menjadi ketua Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Sutan Sjahrir bersama lima belas
orang yang sebagian besar pengikutnya bertemu Tan Malaka di Serang,
Banten, pada 23 Oktober 1945. Seminggu sebelumnya, Wakil Presiden
Mohammad Hatta mengumumkan Maklumat X tentang pembentukan partai-partai
politik.
Dalam pertemuan itu, Sjahrir meminta kesediaan Tan
Malaka menjadi ketua partai sosialis yang akan didirikan dalam waktu
dekat. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka
yang legendaris akan memberikan keuntungan kepada partai sosialis. Tan
Malaka menolak.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Tan Malaka
menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan
seorang revolusioner. Dia juga tak mau menjadi kawan separtai dari kaum
sosialis, yang sebagian besar masih berkompromi dengan kapitalisme dan
imperialisme. Tan Malaka mengatakan, “Saya seorang komunis, saya tidak
mau memimpin partai sosial demokrat.”
Selain itu, “Tan Malaka tidak suka jabatan resmi
dengan tugas-tugas untuk ke kongres, bertemu orang, dan lain-lain. Ini
mungkin karena kepribadiannya dan juga karena Tan Malaka ingin memberi
gambaran bahwa dia di atas partai-partai. Dan ini cocok dengan ambisinya
menjadi presiden,” ujar Poeze kepada Historia.
Menurut penuturan Djohan Sjahroezah, sekretaris
jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin pamannya Sjahrir,
Tan Malaka mendesak Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah selama
pendudukan Jepang, “supaya menentukan sikap siapa-siapa sebaiknya yang
memimpin revolusi nasional, menjadi presiden dan perdana menteri,” tulis
Djoeir Moehamad, anggota dewan pimpinan PSI, dalam Memoar Seorang Sosialis.
Tan Malaka mengusulkan agar dirinya menjadi presiden
dan Sjahrir menjadi perdana menteri sekaligus menteri pertahanan,
ekonomi, dalam dan luar negeri. Sjahrir tidak langsung menolak. Dia
malah bercerita pernah berkeliling Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa
Tengah, dan berkesimpulan hanya Sukarno-lah pemimpin yang dikenal
rakyat.
Sjahrir juga mengemukakan bahwa Tan Malaka kurang
mengetahui perkembangan terakhir seraya menganjurkan agar berkeliling
Jawa untuk mengetahui sejauh mana popularitasnya di mata rakyat.
“Kalau saja Anda populer 10% dari Sukarno kami akan mempertimbangkan
Anda sebagai presiden,” kata Sjahrir, dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Sjahrir mengingatkan Tan Malaka, “Kita ini orang Sumatera, tak begitu
dikenal oleh masyarakat Jawa. Karena itu sebaiknya kita sokong Sukarno
saja sebagai presiden dan Hatta wakilnya.”
“Tidak mungkin,” kata Tan Malaka, “Apalagi Sukarno akan diadili
Sekutu yang akan menduduki Indonesia, sebab dia boneka fasisme Jepang.
Dan pasti nanti kemerdekaan kita dinilai bikinan fasis Jepang.”
Kendati menentang kolaborasi Sukarno-Hatta dengan Jepang, Sjahrir
memutuskan memimpin pemerintahan sebagai perdana menteri selama tiga
periode. Dia kemudian memilih berdiplomasi dengan Sekutu dan Belanda.
Sedangkan Tan Malaka beroposisi kepada pemerintahan Sjahrir. Dugaan Tan
Malaka bahwa Sukarno-Hatta akan diadili Sekutu tak terjadi. Bahkan
Sukarno menjadi presiden selama 22 tahun (1945-1967).
Hendri F. Isnaeni
No comments:
Post a Comment