Sekolah ala Tan Malaka
Mendidik manusia agar tak sekadar pandai tapi juga berjiwa merdeka dan peduli pada nasib rakyat.
Siswa-siswa SI School melepas kepergian Tan Malaka yang diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda pada 1922.
BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di antara
permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana,
pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah
kampung. Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang
kian lama kian renta dimakan usia.
Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat Islam cabang
Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat Islam
yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI
School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota
Semarang.
Kurikulum yang progresif
Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya
bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang
hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam
pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs (pendidikan, Red.).
Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa pada
berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.”
Demi tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka
menyusun kurikulum pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada
waktu itu.
Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan kurikulum sekolahnya, pertama
yakni memberi senjata cukup buat pencari penghidupan dan dunia
kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu,
dsb); kedua, memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan (vereeniging); ketiga, menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, Red.).
Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah pengajaran
bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas
berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur
bahasa Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi
yang mengenyam pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda.
Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan kepada
siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya
(cerdas, Red.) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, Red.) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.”
Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi anak-anak
didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School
menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk
bermain dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak
untuk merasakan kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan
orangtua mereka yang harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya.
Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik
murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati
belas kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta
murid-muridnya untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang
supaya bisa menyaksikan dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik.
Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan dan kemauan
“hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah
sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”
Bonnie Triyana
No comments:
Post a Comment