Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi
Tan Malaka ketika berada di kantor Polisi Manila, Filipina, Agustus 1929.
Foto: Dok. Harry Poeze
SALAH satu tokoh sejarah di Indonesia yang memutuskan untuk tidak
menikah adalah Tan Malaka. Kenapa dia memilih untuk hidup melajang dan
tak membangun keluarga sebagaimana banyak pemimpin republik lainnya?
Ada sebuah kisah yang berkembang tentang kenapa lelaki bernama
Ibrahim itu memilih untuk tak menikah. Ketika masa remaja, Ibrahim jatuh
cinta pada Syarifah Nawawi, gadis cantik kawan satu kelas semasa
sekolah di Kweekschool, Bukittinggi. Namun cintanya kandas saat Ibrahim
dihadapkan pada dua pilihan: menolak dinobatkan sebagai datuk atau
menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Ibrahim pilih yang pertama.
Tak lama setelah penobatan, Ibrahim yang telah bergelar Datuk Tan
Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda. Berpisah dengan Syarifah Nawawi,
pujaan hatinya. Lama tak berhubungan dengan Tan Malaka karena jarak,
Syarifah dilamar oleh Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah yang telah
beristri dua. Perkawinan mereka berakhir pada perceraian.
Wiranatakusumah kawin lagi, lantas menceraikan Syarifah.
Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi koran Merdeka dan
editor penerbit Hasta Mitra pernah mengisahkan sebuah anekdot tentang
kandasnya hubungan cinta Tan Malaka itu. Kata Joesoef dalam sebuah
wawancara pada 2008 lampau, kegagalan percintaannya itu jadi alasan
kenapa Tan memilih untuk jadi komunis.
“Tan Malaka mendengar Syarifah dikawin Wiranatakusumah, lantas
diceraikan begitu saja. Tan jadi dendam pada kaum feodal dan kemudian
jadi komunis. Ini cerita yang beredar di kalangan masyarakat
Bukittinggi,” ujar Joesoef Isak.
Sejak gagal menikahi Syarifah, Tan memang hidup sendiri. Ada beberapa
perempuan yang pernah singgah di hatinya namun tak pernah berakhir di
pelaminan. Ketika di Belanda, Tan sempat berpacaran dengan seorang gadis
Belanda, Fenny Struijvenberg. Menurut penulis biografi Tan Malaka
sejarawan Harry Poeze, Fenny sempat dekat dengan Tan Malaka namun tak
pernah jelas seperti apa hubungan mereka.
Tan sendiri tak pernah menceritakan kisah kasihnya dengan noni Belanda itu di dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara.
Dia memang mengisahkan sempat menjalin hubungan dengan beberapa
perempuan di negara di mana dia tinggal. Semasa tinggal di Manila,
Filipina pada 1927, di bawah nama samaran Elias Fuentes, Tan sempat
jatuh cinta pada seorang perempuan. Kabarnya perempuan itu anak seorang
petinggi universitas di sana.
Hubungan mereka terputus karena Tan ditangkap intelijen Amerika,
diadili di Pengadilan Manila dan divonis deportasi keluar dari Filipina.
Tan kembali ke Tiongkok, menuju Shanghai di mana dia tinggal di sebuah
desa kecil selama kurang lebih tiga tahun, sampai 1932, dalam keadaan
sakit dan tak punya uang. Kabarnya seorang perempuan Tiongkok merawatnya
ketika itu. Tak disebutkan bagaimana hubungan mereka.
Dalam keadaan sulit, Tan mengontak Alimin yang saat itu berada di
Shanghai sebagai perwakilan Komintern di Asia. Kepada Alimin Tan
menyatakan siap mendapat tugas dari Komintern. Alimin menugaskan Tan
untuk pergi ke Burma (Myanmar). Namun ketika tiba di Hongkong dalam
perjalanan menuju Burma, Tan ditangkap agen rahasia Inggris dan ditahan
selama dua bulan. Keluar dari penahanan, Tan menuju Amoy (Xiamen).
Tan yang menggunakan nama samaran Ong Soong Lee itu menurut Harry
Poeze mendapatkan perlindungan di Tiongkok Selatan. “Ia tiba di Amoy,
dan di sana berhasil mendirikan Foreign Languages School (Sekolah
Bahasa-Bahasa Asing),” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.
Saat menetap di Xiamen itulah Tan bertemu seorang gadis Amoy berusia
17 tahun berinisial “AP”. Gadis tersebut kerap menyambangi Tan Malaka
untuk belajar bahasa Inggris. Tan juga jadi tempat curahan hati gadis
yang tak pernah disebutkan nama lengkapnya di dalam memoar Tan Malaka.
Tan keluar dari Amoy pada 1937, meninggalkan kisahnya dengan gadis
Amoy berinisial “AP” tadi. Dia menuju Malaya, kemudian menetap di
Singapura. Di wilayah jajahan Inggris itu Tan menggunakan nama Hasan
Gozali dan bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah. Tak jelas apakah
dia kembali menjalin hubungan cinta di sana.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Tan melihat ada
kesempatan untuk pulang. Setelah menyusuri beberapa kota di Sumatera,
akhirnya Tan tiba di Jakarta di mana dia hidup secara rahasia selama
Jepang berkuasa. Baru pada 1945, Tan menampakkan diri terang-terangan.
Mengunjungi beberapa kawan lamanya, salah satunya Ahmad Soebardjo.
Di rumah Soebardjolah Tan terpikat pada Paramita Abdurrachman,
keponakan Soebardjo. Jalinan asmara mereka cukup serius sehingga banyak
orang mengira mereka telah bertunangan. Namun kegiatan politik Tan
Malaka jauh lebih menyita perhatiannya ketimbang berpacaran.
Paramita jadi perempuan terakhir yang mengisi kisah hidup Tan Malaka
sebelum akhirnya lelaki yang didapuk sebagai “bapak republik” itu tewas
di ujung senapan tentara Indonesia pada 21 Februari 1949. Akhir tragis
Tan Malaka menggenapi kisahnya sebagai “jomblo revolusioner” dalam
sejarah di Indonesia.
BONNIE TRIYANA
No comments:
Post a Comment