Dukung Demokrasi Terpimpin Sukarno, Tan Malaka Jadi Pahlawan Nasional
Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional berkat dukungan partainya kepada Demokrasi Terpimpin.
Tan Malaka dan lambang Partai Murba.
PRESIDEN Sukarno mengangkat dua tokoh kiri yang kontroversial tapi
berseberangan ideologi, Tan Malaka dan Alimin, sebagai pahlawan
nasional. Kebijakan ini dianggap memenuhi penyatuan ideologi Nasakom
sekalipun Sukarno melabrak prosedur. (Baca: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Dua Tokoh Komunis)
Pada 28 Maret 1963, Sukarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan
nasional dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 53/1963. Pengangkatan
ini sesuai dengan tuntutan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), yang
didirikan Tan Malaka, dalam dua kesempatan: peringatan hilangnya Tan
Malaka ke-14 di Jakarta pada Februari 1963 dan konferensi Partai Murba
di Balikpapan pada 15 Maret 1963.
Menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, Sukarno melakukan
pengangkatan itu atas inisiatif sendiri, tanpa melewati prosedur atau
meminta nasihat dari komisi yang telah dibentuk. “Langkah Sukarno
dianggap sebagai penghargaan atas dukungan Partai Murba terhadap politik
Demokrasi Terpimpin Sukarno,” kata Poeze, yang menghabiskan separuh
hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. (Baca: Harry Poeze Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka)
Agar adil, lanjut Poeze, Sukarno melakukan hal yang sama terhadap
Alimin, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kendati disingkirkan dalam
perselisihan internal PKI, Alimin tidak dipecat dari PKI dan masih
dianggap sebagai tokoh komunis yang berjasa. Dia juga kawan Sukarno dari
dulu. Alimin ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keppres No
163/1964.
“Jelas, ada oposisi terhadap putusan pengangkatan dua tokoh
kontroversial itu, dan mungkin karena itu Sukarno melanggar prosedur.
Kritik terhadap Sukarno waktu itu sulit, dan mustahil disampaikan
langsung dan di depan umum,” kata Poeze.
Tan Malaka dipecat dari PKI karena menentang pemberontakan PKI
1926/1927. Dia kemudian mendirikan Pari (Partai Republik Indonesia) di
Bangkok pada Juni 1927. Setelah kembali ke Indonesia, dia mendirikan
Partai Murba pada 7 November 1948, pasca-Peristiwa Madiun 1948. (Baca: Akhir Tragis Republik Komunis)
Dalam banyak hal, Murba berlawanan dengan PKI. Karena itu
pengangkatan Tan Malaka dan Alimin dianggap memenuhi penyatuan ideologi
Nasakom yang diusung Sukarno.
Selain itu, saat itu pengaruh Sukarno begitu besarnya, termasuk dalam
soal pengangkatan pahlawan nasional. Dia mengangkat pahlawan nasional
pertama, yaitu Abdoel Moeis, pada Agustus 1959. Hingga September 1965,
dia mengangkat 36 pahlawan nasional, hampir separuhnya tanpa meminta
nasihat dari komisi yang telah dibentuk. “Tan Malaka adalah orang ke-16
yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” kata Poeze. (Baca: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia)
Prijono, tokoh Partai Murba dan menteri pendidikan (1957-1966),
menyambut pengangkatan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dengan
gembira. Dia menganggap keputusan Sukarno tepat.
Dalam pesannya pada Hari Angkatan Perang 5 Juli 1963, Prijono
menyatakan: “Setiap putera-puteri Indonesia boleh merasa bangga, bahwa
Ibu Pertiwi mempunyai pemimpin besar seperti Tan Malaka. Ia seorang
pahlawan nasional yang di sepanjang hidupnya berjuang untuk kemerdekaan
tanah air, dan yang sejak awal berjuang sungguh-sungguh menuju dan demi
lahirnya cita-cita Republik Indonesia.”
Sejarah mencatat akhir perjalanan kedua partai itu berbeda. PKI
berhasil mempengaruhi Sukarno untuk membekukan Murba pada September 1965
atas tuduhan terlibat dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS),
mendukung Manifesto Kebudayaan, dan menerima uang US$100 juta dari Badan
Intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk menggulingkan Sukarno. Sukarno
kemudian merehabilitiasi Murba pada 17 Oktober 1966. Sementara PKI
dianggap sebagai partai terlarang oleh pemerintahan Soeharto.
Murba ikut pemilu pada 1971 namun tak meraih kursi. Pada 1977 Murba
bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), partai Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan
Partai Katolik lebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Murba
dihidupkan lagi pada 1998 dan ikut pemilu 1999, namun kembali gagal
meraih kursi.
Hendri F. Isnaeni
No comments:
Post a Comment