Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Dua Tokoh Komunis
Sukarno mengangkat Tan Malaka dan Alimin sebagai pahlawan nasional untuk memenuhi penyatuan ideologi nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).
Tan Malaka, 1922.
Foto: KITLV
PADA 23 Maret 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan
nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Usulannya
datang dari Partai Murba yang didirikan Tan Malaka tahun 1948, dalam
peringatan ke-16 menghilangnya Tan Malaka pada Februari 1963.
Menurut sejarawan Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan
Pahlawan-pahlawan Nasional,” dokumen resmi telah dikeluarkan satu bulan
setelah permohonan itu dan langsung mendapat dukungan dari Sukarno, yang
menggambarkan betapa cepatnya dia menanggapi permintaan itu dan
mengabaikan prosedur-prosedur formal.
Setahun kemudian, Sukarno kembali mengangkat tokoh komunis, Alimin
Prawirodirdjo menjadi pahlawan nasional, sehari setelah kematiannya pada
24 Juni 1964.
Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis di antara 33
pahlawan nasional yang ditetapkannya, berdasarkan kepentingan strategis
jangka pendek. Yaitu sebagai wakil dari ideologi yang sedang
disatukannya: Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). (Baca: Nasakom: Sukarno Pemersatu atau Pembelah?)
Oleh karena itu, lanjut Schreiner, “mengikuti pengangkatan Alimin
pada tahun 1964, dua tokoh utama Muhammadiyah, Kiai Fachruddin dan Kiai
Mas Mansyur, secara serentak diangkat sebagai pahlawan nasional sehingga
menjamin keseimbangan ideologis antara komunis dan Muslim.”
Pengangkatan Tan Malaka dan Alimin dapat dianggap sebagai “suatu
simbol nonkontroversial dari gerakan komunis.” Tan Malaka keluar dari
PKI karena tak setuju pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu,
menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru
menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat
pemberontakan beberapa kali.
“Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927,” tulis Asvi dalam pengantar buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura karya Zulhasril Nasir.
Sebaliknya, menurut Schreiner, kendati setuju dengan pemberontakan
itu, Alimin kemudian kehilangan sebagian besar kedudukannya dalam PKI.
Meskipun Harian Rakyat, organ PKI, dalam berita kematian Alimin
memuji jasa-jasanya dalam mendirikan PKI pasca Perang Dunia II dan
perannya selama tahun 1950-an, di akhir hayatnya dia adalah tokoh yang
terpinggirkan.
Rezim Orde Baru yang antikomunis jelas terganggu dengan keberadaan
dua pentolan komunis dalam daftar pahlawan nasional. Menurut Rosihan
Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 4,
Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi
pahlawan nasional, pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar
mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka dan Alimin. Soeharto
menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden
Sukarno dan tidak bisa dibatalkan.
Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, tetapi menurut
Asvi, nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan
di sekolah. Dalam buku teks sejarah dia tidak boleh disebut. Atau
menurut istilah seorang peneliti Departemen Sosial, Tan Malaka menjadi off the record
dalam sejarah Orde Baru. Baru setelah reformasi namanya ditampilkan
kembali. Muncullah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan
Malaka yang pada masa Orde Baru sempat dilarang.
Hendri F. Isnaeni
No comments:
Post a Comment